Senin, 26 Desember 2016

Analisis Perubahan Kebudayaan “Akultuasi” pada Kebudayaan Peringatan 40 Hari Kematian Seseorang di Daerah Jawa




A.    Konsep Dasar Budaya dan Kebudayaan serta Perubahan Kebudayaan“Akulturasi”
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinis. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Karena erat hubungan dengan masyarakat maka kebudayaan bersifat dinamis atau menyesuaikan. Faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan kebudayaan adalah adanya kontak atau hubungan dengan kebudayaan lain. Perubahan kebudayaan ada tiga macam, antara lain :
a.       Difusi yaitu suatu proses menyebarnya unsur-unsur dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
b.      Asimilasi yaitu proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya kebudayaan atau lebih sehingga kebudayaan aslinya hilang/tak tampak lagi.
c.       Akulturasi yaitu proses percampuran kebudayaan tanpa menghilangkan aslinya.
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut, kemudian adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.
B.     Kebudayaan Peringatan 40 Hari Kematian Seseorang di Daerah Jawa
Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan hasil akulturasi. Salah satunya adalah kebudayaan memperingati hari kematian ke-40 hari di daerah saya sendiri yaitu daerah Pati Jawa Tengah. Peringatan kematian sering di jumpai di lingkungan masyarakat, peringatan  ini biasanya dilakukan oleh keluarga dari orang yang meninggal dunia  yang mempunyai tujuan untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia agar supaya segala dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT dan dilapangkan kuburnya. Sebenarnya peringatan hari kematian tediri dari beberapa tahapan, disetiap tahapan itu memiliki sebutan masing-masing, yaitu dimulai pada hari ke-1 meninggal dunia, hari ke-2 meninggal (rungdino), hari ke-3 meninggal (nelungdino), hari ke-4 meninggal (matangdino), hari ke-5 (limangdino), hari ke-6 (enemdino), hari ke-7 (pitungdino), hari ke-40 meninggal (matangpuluh dino), dan hari ke-100 meninggal (mendhak pisan) dan harike-1000 meninggal (mendhak pindo). Tiap-tiap tahapan tersebut memiliki makna tersendiri.
C.    Analisis AKulturasi pada Kebudayaan Peringatan 40 Hari Kematian Seseorang di Daerah Jawa
Pada analisis ini difokuskan untuk menganalisis peringatan hari kematian ke-40 (matangpuluh dino) dari beberapa tahapan yang ada pada kebudayaan peringatan hari kematian di Jawa. Ritual peringatan kematian ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Selamatan kematian ini sudah mengakar dan menjadi budaya pada masyarakat jawa yang sangat berpegang teguh pada adat istiadatnya. Adanya kebudayaan ini karena perubahan kebudayaan berupa akulturasi.
Tradisi  peringatan hari kematian ini didasarkan pada konsep ajaran-ajaran yang dikembangkan sejak jaman nenek moyang di Jawa. Awal mula dari  acara peringatan tersebut berasal dari upacara peribadatan (selamatan) nenek moyang bangsa indonesia khususnya masyarakat jawa yang mayoritasnya beragama  Hindu dan Budha.  Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia. Secara teknis adalah membacakan bacaan mantra dan do’a-do’a yang ditujukan untuk para arwah agar perjalanannya menghadap sang pencipta mudah. Dalam peribahasa jawa menyebutkan “jembar kubure padang lakune” yang berarti “luas kuburnya terang jalannya”, seperti peribahasa tersebut selamatan kematian ini adalah ritual mengirimkan doa kepada sanak saudara. Masyarakat Jawa meyakini bahwa masih ada kehidupan setelah meninggal, dan kehidupan itu adalah kehidupan yang lebih kekal.
            Lahirnya akulturasi atau percampuran budaya selamatan kematian adalah akulturasi kebudayaan hindu-bhudha dengan kebudayaan islam. Dalam kebudayaan ini ada proses sosial  yang terjadi, dimana masyarakat jawa dengan budaya  kepercayaannya bersinggungan dengan budaya Islam yang asing. Islam sendiri masuk ke tanah jawa dibawa oleh wali 9 melalui perdagangan, perkawinan, dan budaya. Islam yang diajarkan oleh wali 9 sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat jawa pada saat itu. Wali 9 menyebarkan Islam menyesuaikan kehidupan yang ada di masyarakat baik dari segi perilaku atau adat yang ada. Begitu pula dengan kebudayaan peringatan kematian ke-40 hari, di Islam sendiri ada kebudayaan mengaji (membaca ayat-ayat suci Al-quran ) dan kebudayaan atau ajaran bersedekah kepada sesama. Oleh masyarakat jawa saat itu kebudayaan mengaji dan bersedekah tersebut merupakan kebudayaan yang asing. Disinilah terjadi kebersinggungan antara budaya yang sudah ada dengan budaya asing terjadi seperti teori yang telah diungkapkan Koentjaraningrat.
Perkembangan Islam juga didukung dengan para wali 9 mengemas kebudayaan jawa dengan tatanan-tatanan dan kaidah islam, tanpa mengubah sedikitpun makna yang ada, dari sinilah pemeluk Islam di Jawa mulai bertambah pesat karena  Islam dianggap sesuai dengan hakikat hidup yang sebenarnya oleh masyarakat Jawa. Jika sebelumnya prosesi dilakukan sangat sederhana berisi mantra-mantra, maka dalam proses akulturasi terjadi sebuah perpaduan  kebudayaan. Yaitu yang tadinya memujikan mantra-mantra kemudian berganti dengan membacakan ayat-ayat suci Al-quran, Tahlilan, dan membacakan surah Yaa Sinn karena proses kebersinggungan tersebut.
            Selain itu terdapat kebudayaan Jawa yang lain yang bersinggungan lagi dengan kebudayaan Islam yang manunggal atau menyatu dalam Kebudayaan peringatan 40 hari kematian, yaitu sedekah. Masyarakat Jawa tidak mengenal sedekah, namun mengenal adanya sesaji. Kemudian semakin bersinggungan dengan kebudayaan islam maka terdapat sebuah “Berkat”. Berkat ini merupakan makanan yang diberikan kepada sanak saudara dan tengga yang turut hadir dalam prosesi peringatan 40 hari kematian. Berkat ini menggantikan fungsi sesajen yang dulu dipersembahkan untuk arwah nenek moyang. Bersedekah akan mendapat pahala dan pahala dari bersedekah juga pahala membaca Al-quran ditujukan atau dihadiahkan kepada sanak saudara yang meninggal agar dipermudah jalannya menuju kehidupan yang kekal.
Telah disebutkan diatas bahwa, menurut Koentjaraningrat, Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut, kemudian adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.” Disini dapat kita melihat adanya proses ini dalam kebudayaan peringatan 40 hari kematian yaitu adanya keseragaman nilai antar budaya. Yaitu berpadunya  kebudayaan memeringati kematian dengan cara-cara islami atau disebut dengan tahlilan, serta berkat dan sesaji. Hal ini menunjukkan adanya keseragaman (homogenity) atau nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.
            Darisinilah kita dapat melihat bahwa ada terjadinya akulturasi pada kebudayaan memperingati hari kematian. Adanya proses perpaduan antara kebudayaan hindhu-buddha dengan kebudayaan islam yang melahirkan kebudayaan baru tanpa mengubah konsep dan makna dari kebudayaan itu sendiri.

Analisis Persebaran Kebudayaan “Sosialisasi” pada Kebudayaan Arak-arakan Obor Saat Malam Takbir di Desa Sidokerto Pati




A.    Konsep Dasar Budaya dan Kebudayaan serta Persebaran Kebudayaan “Sosialisasi”
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinis. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan sendiri disebarkan dari generasi ke generasi dan dilakukan secara belajar. Adapun proses perseberan kebudayaan memiliki tiga cara. Yaitu :
a.       Internalisasi, proses belajar yang berlangsung sejak dilahirkan sampai mati.
b.      Sosialisasi, proses belajar kebudayaan yang terjadi karena kebersinggungan dengan orang lain.
c.       Enkulturasi, proses belajar kebudayaan yang berkaitan dengan sistem norma yang berlaku.
Menurut Koentjaraningrat, seorang antropolog Indonesia, sosialisasi adalah proses individu mempelajari pola-pola tindakan dalam berinteraksi dengan individu di sekelilingnya yang memiliki bermacam-macam status dan menjalankan berbagai peranan penting.
Sosialisasi dibedakan menjadi dua macam yaitu sosialisasi primer dan sekunder. Dimana pada sosialisasi primer keluarga menjadi alat primer dalam penyebarannya. Sedangkan sosialisasi sekunder sendiri merupakan kebalikan dari sosialisasi primer, yaitu alat persebaran primernya diluar keluarga contohnya lingkup sekolah.
B.     Kebudayaan Arak-arakan Obor Saat Malam Takbir di  Desa Sidokerto Pati
Indonesia adalah Negara yang memiliki berjuta-juta kebudayaan baik budaya yang dimiliki secara  luas yaitu budaya antar suku ataupun budaya skala kecil yang ada di setiap desa. Di Desa Sidokerto Pati memiliki suatu kebudayaan unik yaitu arak-arakan obor saat malam takbir. Kebudayaan ini sudah turun-temurun, meskipun banyak revolusi yang ada pada kebudayaan tersebut namun arak-arakan obor tidak pernah ditinggalkan dan terus dilestarikan sebagai warisan dari leluhur desa.
Arak-arakan obor sendiri merupakan suatu tradisi mengarak obor (sebuah bambu diisi kain yang telah dibahasi dengan bensin kemudian dibakar) yang dibawa oleh banyak orang dari penduduk desa sidokerto saat merayakan malam takbir. Dahulu perayaan malam takbir hanya berisi arak-arakan obor. Seiring berkembangnya teknologi, malam takbir dibuat semakin meriah. Semeriah apapun pembaruan itu masyarakat Sidokerto selalu menyertakan arak-arakan obor dalam perayaan malam takbir di desa Sidokerto. Obor sendiri merupakan memiliki filosopi bagi warga desa sidokerto. Yaitu, suatu pelita dalam bentuk sederhana. Meskipun dalam kesederhanaan warga desa sidokerto harus mampu menjadi contoh dan teladan bagi orang lain. Begitupun dalam perayaan takbir obor melambangkan kemenangan terhadapan jihad melawan hawa nafsu.

C.    Analisis Sosialisasi pada Kebudayaan Arak-arakan Obor Pada Malam Takbir di Desa Sidokerto Pati
Kebudayaan arak-arakan obor pada malam takbir di desa sidokerto merupakan salah satu kebudayaan yang persebarannya dengan cara sosialisasi. Khusunya persebarannya dilingkup desa. Dalam suatu desa tentunya tidak hanya ditempati warga asli saja, namun banyak sekali warga pendatang yang akhirnya tinggal, menetap dan menjadi bagian dari desa itu sendiri. Begitupun dengan Desa Sidokerto, warganya tidak hanya berisi asli desa Sidokerto itu sendiri. Adanya suatu kebudayaan yang sudah mendarah daging yang tidak pernah ditinggalkan tentunya akan membawa dampak tersendiri bagi warga desa Sidokerto pendatang yang sama sekali tidak mengetahui budaya tersebut.warga desa sidokerto secara tidak langsung memperkenalkan budayanya dan memengaruhi penduduk pendatang untuk turut melaksanakan kebudayaan itu. Hal ini termasuk contoh persebaran kebudayaan dengan cara sosialisasi sekunder. Yaitu sosialisasi yang yang terjadi di luar  lingkungan keluarga, seperti di lingkungan masyarakat.
Dengan kebudayaan yang terus dilakukan maka akan membuat seorang yang asing turut mengikuti budaya tersebut. Karena sejatinya proses sosialisasi adalah proses  pembelajaran individu atau sekelompok masyarakat saat seorang individu atau kelompok belajar agar dapat menjadi suatu bagian dari masyarakat yang memiliki peranan sosial sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing.  Dalam kasus ini warga pendatang akan belajar dan akhirnya mengikuti arak-arakan obor karena kebudayaan ini diperkenalkan warga sidokerto dengan cara sosialisasi, orang pendatang tersebut akan turut mempelajari budaya tersebut karena mau tidak-mau,  sengaja-tidak sengaja orang pendatang itu akan berinteraksi sosial warga sidokerto.
warga sidokerto secara tidak langsung menyebarkan kebudayaannya saat bersinggungan atau berinteraksi sosial dengan orang pndatang tersebut. Demikian orang pendatang tersebut juga secara tidak langsung belajar kebudayaan arak-arakan obor saat bersinggungan dan berinteraksi dengan warga sidokerto.  Proses ini dikatakan sebagai proses sosialisasi.
Jika dikaitkan dengan pedapat Menurut Koentjaraningrat, seorang antropolog Indonesia, sosialisasi adalah proses individu mempelajari pola-pola tindakan dalam berinteraksi dengan individu di sekelilingnya yang memiliki bermacam-macam status dan menjalankan berbagai peranan penting. Maka jelas sekali bahwa kebudayaan arak-arakan obor di desa Sidokerto merupakan suatu kebudayaan yang persebarannya dengan cara sosialisasi.
Orang pendatang sebagai pelaku proses individu mempelajari pola-pola tindakan dalam berinteraksi dengan individu di sekelilingnya.
Dan masyarakat beserta orang pendatang tersebut menjalankan status dan perannya masing-masing. Warga asli sebagai pemilik sekaligus penyebar kebudayaan. Warga pendatang sebagai orang yang mempelajari suatu kebudayaan karena menjadi bagia suatu masyarakat.

makalah Analisis Penyebaran Kebudayaan “Sosialisasi” pada Bahasa Ngapak Banyumasan




BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinis. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Perubahan kebudayaan antara lain difusi yaitu suatu proses menyebarnya unsur-unsur dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain, asimilasi yaitu proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya kebudayaan atau lebih sehingga kebudayaan aslinya hilang/tak tampak lagi, sedangkan akulturasi adalah proses percampuran kebudayaan tanpa menghilangkan aslinya. Persebaran kebudayaan meliputi internalisasi ( proses belajar yang dilakukan sejak lahir sampai mati), sosialisasi ( proses belajar karena ada kebersinggungan dengan orang lain), enkulturasi (proses belajar kebudayaan yang berkaitan dengan sistem norma yang belaku).
Sosialisasi adalah proses mempelajari dan menanamkan suatu nilai, norma, peran, dan pola perilaku dari satu generasi ke generasi lain dalam sebuah kelompok atau masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory) karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
            Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu :
1.Sosialisasi primer, yaitu sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting karena watak dan atau kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
2.Sosialisasi sekunder, yaitu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu kedalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi (pemberian identitas diri yang baru) dan desosialisasi ('pencabutan' identitas diri yang lama).
           
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa itu bahasa ngapak banyumasan ?
1.2.2        Bagaimana Sejarah Bahasa Ngapak Banyumasan ?
1.2.3        Bagaimana Analisis Penyebaran Kebudayaan “ Sosialisasi” pada Bahasa Ngapak Banyumasan ?
1.2.4        Apa saja media penyebaran kebudayaan Bahasa Ngapak Banyumasan ?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        untuk mengetahui apa itu bahasa ngapak banyumasan
1.3.2        untuk mengetahui analisis penyebaran kebudayaan pada bahasa ngapak banyumasan
1.3.3        untuk mengetahui apa saja media penyebaran kebudayaan bahasa ngapak banyumasan
1.4  Manfaat Penulisan
Dapat mengetahui bagaimana proses penyebaran kebudayaan khususnya bagian sosialisasi pada Bahasa Ngapak Banyumasan.


























BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Bahasa Ngapak Banyumasan
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak (oleh masyarakat di luar Banyumas) adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan. Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokkan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Kebumen, Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, Brebes, Tegalan,  Cirebonan dan Banten Utara).  Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.  Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan.
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan oleh masyarakat di luar Banyumas disebut sebagai bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
2.2 Sejarah Bahasa Ngapak Banyumasan
Sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke waktu, bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
2.2.1 Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
2.2.2 Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
2.2.3 Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
2.2.4 Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
(Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal). Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).
Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.

Rumpun Bahasa Jawa Bagian Barat, Terdapat 4 sub-dialek utama dalam Bahasa Banyumasan, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Cirebonan) dan Banten Utara. Wilayah Utara Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal. Wilayah Selatan Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Sumpiuh, Kebumen serta Gombong. Cirebon - Indramayu Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam Provinsi Jawa Barat. Banten Utara Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Banten. Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.
2.3 Analisis bahasa Ngapak di Banyumas: 
Proses transfer bahasa terjadi karena adanya proses sosialisasi. Sosialisasi merupakan sebuah proses seumur hidup dimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima dan berpartisipasi efektif dalam masyarakat. Sosialisasi pada Bahasa Ngapak Banyumasan termasuk Sosialisasi primer, yaitu sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Jadi, bahasa ngapak banyumasan sudah diajarkan sejak anak tersebut lahir dan itu terjadi secara alamiah. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting karena watak dan atau kepribadian anak akan sangat ditentukan melalui interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya dan lingkungan sosialnya. Penyebaran kebudayaan bahasa ngapak juga terjadi secara sosisalisasi Informal yakni pergaulan yang bersifat natural tidak diajarkan secara resmi/formal namun dari kebiasaan-kebiasaan yang diturunkan. Dari sini kita mengetahui bahwa bahasa juga bahasa ngapak di pelajari dari kebiasaan-kebiasaan yang dibawa sejak lahir.
2.4 Media sosialisasi
Media sosialisasinya adalah keluarga, teman sepermainan, sekolah yang merupakan media sosialisasi sekunder adalah tempat pekerjaan, masyarakat umum yang merupakan media sosialisasi sekunder yang dominan terhadap proses pembentukan kepribadian, dan media masa. Proses sosialisasi itu sendiri adalah suatu proses dimana seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan kelompoknya. Semenjak lahir seorang anak sudah melakukan proses sosialisasi, baik dengan orang tuanya sendiri maupun orang lain. Proses sosialisasi tersebut menghasilkan suatu bentuk tiruan dimana nantinya apa yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa akan ditirukan oleh anak-anak. Contohnya adalah bahasa. Orang banyumas sudah terbiasa menggunakan bahasa ngapak sebagai alat komunikasinya maka secara tidak langsung dan lambut laun penggunaan bahasa ngapak tersebut juga menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya untuk melakukan proses komunikasi.
















BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sosialisasi merupakan sebuah proses seumur hidup dimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima dan berpartisipasi efektif dalam masyarakat.
            Media sosialisasi adalah keluarga, teman sepermainan, sekolah.  Proses sosialisasi itu sendiri adalah suatu proses dimana seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan kelompoknya.
Demikian dengan Bahasa Ngapak Banyumasan, disebarkan dengan cara sosialisasi yaitu seseorang berproses sejak dia lahir, diajarkan memalui kebiasaan-kebiasaan (tidak sengaja) dan turun-temurun. Bahasa Ngapak Banyumasan termasuk disebarkan melalui proses sosialisasi secara primer dan informal, karena disebarkan secara alami dan dipengaruhi oleh lingkungan.
3.2 Saran
Bahasa Ngapak Banyumasan merupakan dialek khas yang ada didalam rumpun bahasa jawa yang harus tetap dikembangkan dan diajarkan agar tetap lestari.








Daftar Pustaka

Legenda Tangkuban Perahu

  Nama : Nayla Putri Yuantika Humaira Azalia Sasi Ramadhanesya Gunung Tangkuban Perahu Dahulu kala ada seorang raja yang bernama Sumbing...