Senin, 26 Desember 2016

Analisis Perubahan Kebudayaan “Akultuasi” pada Kebudayaan Peringatan 40 Hari Kematian Seseorang di Daerah Jawa




A.    Konsep Dasar Budaya dan Kebudayaan serta Perubahan Kebudayaan“Akulturasi”
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinis. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Karena erat hubungan dengan masyarakat maka kebudayaan bersifat dinamis atau menyesuaikan. Faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan kebudayaan adalah adanya kontak atau hubungan dengan kebudayaan lain. Perubahan kebudayaan ada tiga macam, antara lain :
a.       Difusi yaitu suatu proses menyebarnya unsur-unsur dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
b.      Asimilasi yaitu proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya kebudayaan atau lebih sehingga kebudayaan aslinya hilang/tak tampak lagi.
c.       Akulturasi yaitu proses percampuran kebudayaan tanpa menghilangkan aslinya.
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut, kemudian adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.
B.     Kebudayaan Peringatan 40 Hari Kematian Seseorang di Daerah Jawa
Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan hasil akulturasi. Salah satunya adalah kebudayaan memperingati hari kematian ke-40 hari di daerah saya sendiri yaitu daerah Pati Jawa Tengah. Peringatan kematian sering di jumpai di lingkungan masyarakat, peringatan  ini biasanya dilakukan oleh keluarga dari orang yang meninggal dunia  yang mempunyai tujuan untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia agar supaya segala dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT dan dilapangkan kuburnya. Sebenarnya peringatan hari kematian tediri dari beberapa tahapan, disetiap tahapan itu memiliki sebutan masing-masing, yaitu dimulai pada hari ke-1 meninggal dunia, hari ke-2 meninggal (rungdino), hari ke-3 meninggal (nelungdino), hari ke-4 meninggal (matangdino), hari ke-5 (limangdino), hari ke-6 (enemdino), hari ke-7 (pitungdino), hari ke-40 meninggal (matangpuluh dino), dan hari ke-100 meninggal (mendhak pisan) dan harike-1000 meninggal (mendhak pindo). Tiap-tiap tahapan tersebut memiliki makna tersendiri.
C.    Analisis AKulturasi pada Kebudayaan Peringatan 40 Hari Kematian Seseorang di Daerah Jawa
Pada analisis ini difokuskan untuk menganalisis peringatan hari kematian ke-40 (matangpuluh dino) dari beberapa tahapan yang ada pada kebudayaan peringatan hari kematian di Jawa. Ritual peringatan kematian ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Selamatan kematian ini sudah mengakar dan menjadi budaya pada masyarakat jawa yang sangat berpegang teguh pada adat istiadatnya. Adanya kebudayaan ini karena perubahan kebudayaan berupa akulturasi.
Tradisi  peringatan hari kematian ini didasarkan pada konsep ajaran-ajaran yang dikembangkan sejak jaman nenek moyang di Jawa. Awal mula dari  acara peringatan tersebut berasal dari upacara peribadatan (selamatan) nenek moyang bangsa indonesia khususnya masyarakat jawa yang mayoritasnya beragama  Hindu dan Budha.  Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia. Secara teknis adalah membacakan bacaan mantra dan do’a-do’a yang ditujukan untuk para arwah agar perjalanannya menghadap sang pencipta mudah. Dalam peribahasa jawa menyebutkan “jembar kubure padang lakune” yang berarti “luas kuburnya terang jalannya”, seperti peribahasa tersebut selamatan kematian ini adalah ritual mengirimkan doa kepada sanak saudara. Masyarakat Jawa meyakini bahwa masih ada kehidupan setelah meninggal, dan kehidupan itu adalah kehidupan yang lebih kekal.
            Lahirnya akulturasi atau percampuran budaya selamatan kematian adalah akulturasi kebudayaan hindu-bhudha dengan kebudayaan islam. Dalam kebudayaan ini ada proses sosial  yang terjadi, dimana masyarakat jawa dengan budaya  kepercayaannya bersinggungan dengan budaya Islam yang asing. Islam sendiri masuk ke tanah jawa dibawa oleh wali 9 melalui perdagangan, perkawinan, dan budaya. Islam yang diajarkan oleh wali 9 sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat jawa pada saat itu. Wali 9 menyebarkan Islam menyesuaikan kehidupan yang ada di masyarakat baik dari segi perilaku atau adat yang ada. Begitu pula dengan kebudayaan peringatan kematian ke-40 hari, di Islam sendiri ada kebudayaan mengaji (membaca ayat-ayat suci Al-quran ) dan kebudayaan atau ajaran bersedekah kepada sesama. Oleh masyarakat jawa saat itu kebudayaan mengaji dan bersedekah tersebut merupakan kebudayaan yang asing. Disinilah terjadi kebersinggungan antara budaya yang sudah ada dengan budaya asing terjadi seperti teori yang telah diungkapkan Koentjaraningrat.
Perkembangan Islam juga didukung dengan para wali 9 mengemas kebudayaan jawa dengan tatanan-tatanan dan kaidah islam, tanpa mengubah sedikitpun makna yang ada, dari sinilah pemeluk Islam di Jawa mulai bertambah pesat karena  Islam dianggap sesuai dengan hakikat hidup yang sebenarnya oleh masyarakat Jawa. Jika sebelumnya prosesi dilakukan sangat sederhana berisi mantra-mantra, maka dalam proses akulturasi terjadi sebuah perpaduan  kebudayaan. Yaitu yang tadinya memujikan mantra-mantra kemudian berganti dengan membacakan ayat-ayat suci Al-quran, Tahlilan, dan membacakan surah Yaa Sinn karena proses kebersinggungan tersebut.
            Selain itu terdapat kebudayaan Jawa yang lain yang bersinggungan lagi dengan kebudayaan Islam yang manunggal atau menyatu dalam Kebudayaan peringatan 40 hari kematian, yaitu sedekah. Masyarakat Jawa tidak mengenal sedekah, namun mengenal adanya sesaji. Kemudian semakin bersinggungan dengan kebudayaan islam maka terdapat sebuah “Berkat”. Berkat ini merupakan makanan yang diberikan kepada sanak saudara dan tengga yang turut hadir dalam prosesi peringatan 40 hari kematian. Berkat ini menggantikan fungsi sesajen yang dulu dipersembahkan untuk arwah nenek moyang. Bersedekah akan mendapat pahala dan pahala dari bersedekah juga pahala membaca Al-quran ditujukan atau dihadiahkan kepada sanak saudara yang meninggal agar dipermudah jalannya menuju kehidupan yang kekal.
Telah disebutkan diatas bahwa, menurut Koentjaraningrat, Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut, kemudian adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.” Disini dapat kita melihat adanya proses ini dalam kebudayaan peringatan 40 hari kematian yaitu adanya keseragaman nilai antar budaya. Yaitu berpadunya  kebudayaan memeringati kematian dengan cara-cara islami atau disebut dengan tahlilan, serta berkat dan sesaji. Hal ini menunjukkan adanya keseragaman (homogenity) atau nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.
            Darisinilah kita dapat melihat bahwa ada terjadinya akulturasi pada kebudayaan memperingati hari kematian. Adanya proses perpaduan antara kebudayaan hindhu-buddha dengan kebudayaan islam yang melahirkan kebudayaan baru tanpa mengubah konsep dan makna dari kebudayaan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Legenda Tangkuban Perahu

  Nama : Nayla Putri Yuantika Humaira Azalia Sasi Ramadhanesya Gunung Tangkuban Perahu Dahulu kala ada seorang raja yang bernama Sumbing...